Jumat, 27 Mei 2016

Akibat interaksi tiga lempeng lithosfer



Pergerakan lempeng

Secara teori tektonik lempeng, pembentukan Kepulauan Indonesia dimulai sekitar 55 juta tahun yang lalu. Indonesia dibentuk oleh interaksi setidaknya tiga lempeng penyusun bumi; Lempeng Samudera India, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng kontinen. Perbedaan antara lempeng yang disusun oleh lempeng samudera dan kontinen adalah lempeng samudera bersifat basah karena disusun oleh material yang kaya akan unsur Fe, Mg dan Ni, bersifat kaku dan brittle, mempunyai berat jenis yang tinggi, sementara lempeng kontinen merupakan lempeng benua yang secara kimia bersifat relatif asam dan mempunyai berat jenis lebih rendah dibandingkan lempeng samudera.
Lempeng-lempeng tadi bergerak satu sama lain di mana Lempeng Samudera India bergerak relatif ke arah utara dengan kecepatan 7 cm per tahun, Lempeng Laut Filipina bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan 8 cm per tahun dan lempeng Eurasia yang cenderung stabil. Pergerakan lempeng-lempeng ini kemudian bertemu pada satu zona tumbukan yang disebut dengan zona subduksi.
Interaksi ketiga lempeng tadi mengakibatkan pengaruh pada hampir seluruh kepulauan yang ada di Indonesia, kecuali Kalimantan. Pengaruh dari pergerakan lempeng tadi ada yang langsung berupa pergerakan kerak bumi di batas pergerakan lempeng tadi, yang akan menimbulkan gempa bumi dan tsunami apabila pergerakannya terdapat di dasar laut, maupun tidak langsung. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi setahun lalu di Aceh dan Sumatera Utara merupakan contoh nyata.
Gempa dan tsunami Aceh dihasilkan tunjaman Lempeng Samudera India ke bawah Lempeng Eurasia. Tunjaman tersebut menghasilkan getaran yang menimbulkan gempa bumi berkekuatan sekitar 8,9 skala richter. Pusat gempa tersebut terdapat di Samudera Hindia, tepatnya sekitar 200 km sebelah barat daya Pulau Sumatera. Getaran gempa yang sangat keras itu kemudian sampai ke permukaan laut dan menimbulkan gerakan osilasi pada air laut dengan kecepatan sekitar 700?800 km/jam (setara dengan kecepatan pesawat komersil), yang akhirnya sampai ke daerah Aceh dan Sumatera Utara dalam bentuk tsunami.
Selain itu pertemuan Lempeng Samudera India dengan Lempeng Eurasia juga menghasilkan lajur gunung api yang memanjang dari Sumatera sampai Nusa Tenggara dan membentuk sebuah rangkaian gunung api. Rangkaian gunung api ini dikenal dengan istilah busur vulkanik dan berhenti di Pulau Sumbawa, kemudian berbelok arah ke Laut Banda menuju arah utara ke daerah Maluku Utara, Sulawesi Utara dan terus ke Filipina. Busur gunung api ini sendiri ada yang masih aktif seperti Gunung Merapi, Gunung Krakatu di Selat Sunda, Gunung Galunggung dan Gunung Papandayan di Jawa Barat, Gunung Merapi di Jogjakarta, Gunung Agung di Bali, Gunung Rinjani dan Tambora di Nusa Tenggara, Gunung Gamalama dan Tidore di Maluku Utara, dan Gunung Klabat di Sulawesi Utara.
Pergerakan ketiga lempeng tadi juga dapat menimbulkan patahan atau sesar yaitu pergeseran antara dua blok batuan baik secara mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok lainnya. Patahan atau sesar ini merupakan perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan lempeng utama. Patahan atau sesar inilah yang akan menghasilkan gempa bumi di daratan dan tanah longsor. Akibatnya, bangunan yang ada di atas zona patahan ini sangat rentan mengalami runtuhan
Patahan atau sesar-sesar ini akan mempengaruhi resistensi atau kekuatan pada batuan yang dilewatinya, menyebabkan batuan- batuan tadi menjadi rapuh dan mudah mengalami erosi. Apabila jenis batuan tersebut merupakan batuan yang porous( berongga), maka akan menimbulkan hal yang lebih fatal lagi. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan air hujan masuk ke dalam rongga batuan dan menyebabkan lama kelamaan batuan tersebut akan menjadi jenuh yang berujung pada terjadinya pergerakan massa batuan dalam bentuk blok besar yang menimbulkan tanah longsor, terutama daerah dengan kemiringan lereng yang curam.
Faktor manusia juga sangat mempengaruhi terjadinya tanah longsor ini, terutama yang disertai dengan bencana banjir bandang. Adanya penggundulan hutan terutama illegal logging dan pembukaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah lingkungan, menjadi salah satu yang memicu terjadinya tanah longsor disertai dengan banjir bandang. Permukaan tanah yang telah gundul menyebabkan air hujan yang turun ke permukaan tanah tidak dapat diserap oleh tanah (tidak terjadi infiltrasi), akibatnya air tersebut akan mengalir di permukaan, dan membawa material di atas tanah tadi dalam bentuk sedimen. Sedimen tadi kemudian diangkut ke sungai dan dibawa ke hilir, yang menyebabkan pendangkalan dan kemudian terjadi banjir di hilir sungai, yang nota bene umumnya merupakan wilayah pemukiman
Pengembangan wilayah yang juga tidak memperhatikan aspek lingkungan juga mempengaruhi volume dan frekuensi banjir. Manusia mendirikan pemukiman yang pada dasarnya merupakan dataran banjir, yaitu daerah yang akan tergenang oleh air sungai apabila terjadi banjir. Hal ini yang terjadi di Gunung Leuser (Aceh), Gunung Bawakaraeng dan di Desa Manipi (Sulawesi Selatan) , serta kejadian tanah longsor dan banjir bandang di Jember dan Banjarnegara yang baru-baru ini.
Sebenarnya sebelum bencana longsor dan banjir bandang di Jember dan Banjarnegara terjadi, Direktorat Vulkanologi dan Bencana Alam Geologi telah memberikan warning kepada pemerintah setempat bahwa daerahnya sangat rawan bencana longsor dan banjir bandang. Kedua daerah tersebut masuk dalam peta rawan bencana alam longsor yang dibuat pada tanggal 31 Oktober 2005. Di Pulau Jawa dan Madura sendiri telah dipetakan ada 23 titik bencana alam geologi yang tersebar, ada yang dalam kondisi sedang, rawan sampai sangat rawan.
Dari pemaparan di atas jelas tergambar bahwa kejadian bencana alam yang akhir-akhir ini menjadi sebuah fenomena, sangat erat hubungannya dengan proses pembentukan Kepulauan Indonesia secara geologi. Pelajaran berharga yang dapat kita ambil adalah bahwa kita tidak bisa lari dari kenyataan bahwa kita hidup di daerah yang rawan akan bencana alam, khususnya bencana alam geologi, yaitu gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung api dan banjir. Olehnya itu, pemahaman tentang bagaimana sebenarnya kondisi Indonesia dalam perspektif kebencanaan harus disosialisasikan ke masyarakat mengingat ilmu kebumian utamanya ilmu geologi merupakan ilmu yang kurang diketahui oleh masyarakat luas. Kita harus tidak gengsi mencontoh Jepang yang juga secara geologi proses pembentukannya tidak jauh berbeda bahkan lebih kompleks lagi. Di negeri matahari terbit ini, pemahaman dini tentang bencana alam atau lebih dikenal dengan early warning system telah diterapkan dari bangku taman kanak-kanak. Pemerintah yang merupakan pengambil kebijakan harus lebih aware akan hal ini, sehingga korban bencana alam bisa ditekan dan diminimalkan, terutam korban jiwa