Pergerakan lempeng
Secara teori tektonik lempeng, pembentukan Kepulauan
Indonesia dimulai sekitar 55 juta tahun yang lalu. Indonesia dibentuk oleh
interaksi setidaknya tiga lempeng penyusun bumi; Lempeng Samudera India,
Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Eurasia yang merupakan lempeng kontinen.
Perbedaan antara lempeng yang disusun oleh lempeng samudera dan kontinen adalah
lempeng samudera bersifat basah karena disusun oleh material yang kaya akan
unsur Fe, Mg dan Ni, bersifat kaku dan brittle, mempunyai berat jenis yang
tinggi, sementara lempeng kontinen merupakan lempeng benua yang secara kimia
bersifat relatif asam dan mempunyai berat jenis lebih rendah dibandingkan
lempeng samudera.
Lempeng-lempeng tadi bergerak satu sama lain di mana
Lempeng Samudera India bergerak relatif ke arah utara dengan kecepatan 7 cm per
tahun, Lempeng Laut Filipina bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan 8 cm
per tahun dan lempeng Eurasia yang cenderung stabil. Pergerakan lempeng-lempeng
ini kemudian bertemu pada satu zona tumbukan yang disebut dengan zona subduksi.
Interaksi ketiga lempeng tadi mengakibatkan pengaruh
pada hampir seluruh kepulauan yang ada di Indonesia, kecuali Kalimantan.
Pengaruh dari pergerakan lempeng tadi ada yang langsung berupa pergerakan kerak
bumi di batas pergerakan lempeng tadi, yang akan menimbulkan gempa bumi dan
tsunami apabila pergerakannya terdapat di dasar laut, maupun tidak langsung.
Gempa bumi dan tsunami yang terjadi setahun lalu di Aceh dan Sumatera Utara
merupakan contoh nyata.
Gempa dan tsunami Aceh dihasilkan tunjaman Lempeng
Samudera India ke bawah Lempeng Eurasia. Tunjaman tersebut menghasilkan getaran
yang menimbulkan gempa bumi berkekuatan sekitar 8,9 skala richter. Pusat gempa
tersebut terdapat di Samudera Hindia, tepatnya sekitar 200 km sebelah barat
daya Pulau Sumatera. Getaran gempa yang sangat keras itu kemudian sampai ke
permukaan laut dan menimbulkan gerakan osilasi pada air laut dengan kecepatan
sekitar 700?800 km/jam (setara dengan kecepatan pesawat komersil), yang akhirnya
sampai ke daerah Aceh dan Sumatera Utara dalam bentuk tsunami.
Selain itu pertemuan Lempeng Samudera India dengan
Lempeng Eurasia juga menghasilkan lajur gunung api yang memanjang dari Sumatera
sampai Nusa Tenggara dan membentuk sebuah rangkaian gunung api. Rangkaian
gunung api ini dikenal dengan istilah busur vulkanik dan berhenti di Pulau
Sumbawa, kemudian berbelok arah ke Laut Banda menuju arah utara ke daerah
Maluku Utara, Sulawesi Utara dan terus ke Filipina. Busur gunung api ini
sendiri ada yang masih aktif seperti Gunung Merapi, Gunung Krakatu di Selat
Sunda, Gunung Galunggung dan Gunung Papandayan di Jawa Barat, Gunung Merapi di
Jogjakarta, Gunung Agung di Bali, Gunung Rinjani dan Tambora di Nusa Tenggara,
Gunung Gamalama dan Tidore di Maluku Utara, dan Gunung Klabat di Sulawesi
Utara.
Pergerakan ketiga lempeng tadi juga dapat menimbulkan
patahan atau sesar yaitu pergeseran antara dua blok batuan baik secara
mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok lainnya. Patahan atau sesar ini
merupakan perpanjangan gaya yang ditimbulkan oleh gerakan-gerakan lempeng
utama. Patahan atau sesar inilah yang akan menghasilkan gempa bumi di daratan
dan tanah longsor. Akibatnya, bangunan yang ada di atas zona patahan ini sangat
rentan mengalami runtuhan
Patahan atau sesar-sesar ini akan mempengaruhi
resistensi atau kekuatan pada batuan yang dilewatinya, menyebabkan batuan-
batuan tadi menjadi rapuh dan mudah mengalami erosi. Apabila jenis batuan
tersebut merupakan batuan yang porous( berongga), maka akan menimbulkan hal
yang lebih fatal lagi. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan air hujan masuk
ke dalam rongga batuan dan menyebabkan lama kelamaan batuan tersebut akan
menjadi jenuh yang berujung pada terjadinya pergerakan massa batuan dalam
bentuk blok besar yang menimbulkan tanah longsor, terutama daerah dengan
kemiringan lereng yang curam.
Faktor manusia juga sangat mempengaruhi terjadinya
tanah longsor ini, terutama yang disertai dengan bencana banjir bandang. Adanya
penggundulan hutan terutama illegal logging dan pembukaan lahan yang tidak
memperhatikan kaidah lingkungan, menjadi salah satu yang memicu terjadinya
tanah longsor disertai dengan banjir bandang. Permukaan tanah yang telah gundul
menyebabkan air hujan yang turun ke permukaan tanah tidak dapat diserap oleh
tanah (tidak terjadi infiltrasi), akibatnya air tersebut akan mengalir di
permukaan, dan membawa material di atas tanah tadi dalam bentuk sedimen.
Sedimen tadi kemudian diangkut ke sungai dan dibawa ke hilir, yang menyebabkan
pendangkalan dan kemudian terjadi banjir di hilir sungai, yang nota bene
umumnya merupakan wilayah pemukiman
Pengembangan wilayah yang juga tidak memperhatikan
aspek lingkungan juga mempengaruhi volume dan frekuensi banjir. Manusia
mendirikan pemukiman yang pada dasarnya merupakan dataran banjir, yaitu daerah
yang akan tergenang oleh air sungai apabila terjadi banjir. Hal ini yang
terjadi di Gunung Leuser (Aceh), Gunung Bawakaraeng dan di Desa Manipi
(Sulawesi Selatan) , serta kejadian tanah longsor dan banjir bandang di Jember
dan Banjarnegara yang baru-baru ini.
Sebenarnya sebelum bencana longsor dan banjir bandang
di Jember dan Banjarnegara terjadi, Direktorat Vulkanologi dan Bencana Alam
Geologi telah memberikan warning kepada pemerintah setempat bahwa daerahnya
sangat rawan bencana longsor dan banjir bandang. Kedua daerah tersebut masuk
dalam peta rawan bencana alam longsor yang dibuat pada tanggal 31 Oktober 2005.
Di Pulau Jawa dan Madura sendiri telah dipetakan ada 23 titik bencana alam
geologi yang tersebar, ada yang dalam kondisi sedang, rawan sampai sangat
rawan.
Dari pemaparan di atas jelas tergambar bahwa kejadian
bencana alam yang akhir-akhir ini menjadi sebuah fenomena, sangat erat
hubungannya dengan proses pembentukan Kepulauan Indonesia secara geologi.
Pelajaran berharga yang dapat kita ambil adalah bahwa kita tidak bisa lari dari
kenyataan bahwa kita hidup di daerah yang rawan akan bencana alam, khususnya
bencana alam geologi, yaitu gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung api dan
banjir. Olehnya itu, pemahaman tentang bagaimana sebenarnya kondisi Indonesia
dalam perspektif kebencanaan harus disosialisasikan ke masyarakat mengingat
ilmu kebumian utamanya ilmu geologi merupakan ilmu yang kurang diketahui oleh
masyarakat luas. Kita harus tidak gengsi mencontoh Jepang yang juga secara
geologi proses pembentukannya tidak jauh berbeda bahkan lebih kompleks lagi. Di
negeri matahari terbit ini, pemahaman dini tentang bencana alam atau lebih
dikenal dengan early warning system telah diterapkan dari bangku taman
kanak-kanak. Pemerintah yang merupakan pengambil kebijakan harus lebih aware
akan hal ini, sehingga korban bencana alam bisa ditekan dan diminimalkan,
terutam korban jiwa